Napak Tilas Perbioskopan Jakarta

Jumat, 13 Februari 2009

Malem minggu aye pergi ke bioskop, bergandengan ame pacar nonton koboi, beli karcis tau-tau keabisan, jage gengsi ke pakse beli catutan. Aduh emak enaknye nonton dua-duaan, kaye nyonye dan tuan di gedongan, mau beli minuman kantong kosong glondangan, malu ame tunangan kebingungan.

Itulah sepenggal lagu ciptaan almarhum Benyamin Suaeb, Nonton Bioskop, yang dipopulerkan oleh almarhum Bing Slamet. Lagu kocak itu bercerita tentang pengalaman nonton di bioskop. Tentu gambaran bioskop dalam lirik tadi bukanlah bioskop seperti yang ada sekarang. Bioskop dalam gambaran Benyamin dan Bing itu kini hampir semua sudah almarhum. Beberapa memang masih bertahan, dengan napas yang sudah sangat berat.

Jika dilakukan napak tilas perbioskopan Jakarta, maka sepanjang Jakarta Timur, Pusat, Barat, hingga ke Utara, belakangan juga di Selatan, yang tersisa hanyalah nama, kenangan tentang sebuah bioskop. Bioskop-bioskop yang lahir sejak awal abad ke-20 hingga tahun 1960-an. Sebentar lagi, hampir semua jejak bioskop di Jakarta tak berbekas. Di Jatinegara, bioskop Djaja kini sudah berubah menjadi Pusat Grosir Jatinegara, dari sana melaju hingga ke Kramat ada Rivoli yang pada zamannya menjadi pusat pemutaran film-fim India.

Dari catatan Warta Kota, bioskop yang dibangun awal tahun 1950-an itu akhirnya mengalah pada zaman, sekitar tahun 2002. Enam tahun setelah tutup, kondisi bangunan itu makin rapuh, bluwek, kumuh. Biaya perawatan gedung yang terbilang tinggi, belum lagi pajak, menyisakan satu harapan, yakni menjual lahan beserta gedung tersebut.


Sarkan, pedagang gorengan, cukup bersemangat menggali kembali nostalgia sejak tahun 1976, ketika dia mulai berjualan di lingkungan bioskop Rivoli. "Ini bioskop top. Kalau mau nonton film India, ya di sini. Paling ramai malem Minggu. Saya jualan bisa sampai jam 01.00 (dini hari). Apalagi dulu sebelahnya kan Miss Tjitjih, tambah ramai," tutur Sarkan sambil menunjuk gedung di sebelah lahan Rivoli yang kini bertuliskan Astragraphia sebagai gedung di mana perkumpulan sandiwara Miss Tjitjih biasa melakukan pertunjukan pada masanya.



Rivoli, bersama Orion (di Glodok) dan Roxy (Roxy, Jakarta Pusat), termasuk dalam bioskop rakyat yang memutar film-film Indonesia, Melayu, dan India. Sebut saja film Indonesia produksi tahun 1948, Air Mata Mengalir di Tjitarum yang dibintangi Sofia WD.



Semuanya kini tinggal kenangan yang hanya bisa didengar dari pelaku sejarah atau dilihat dan dibaca dalam bentuk dokumentasi, baik tulisan maupun foto. Orion kini menjadi pertokoan elektronik di Glodok. Sebelumnya, bioskop ini pernah berganti nama menjadi Pelangi. Sedangkan di tanah di mana dulu berdiri bioskop Roxy, di pertigaan Jalan Biak dan Jalan Hasyim Ashari, sejak sekitar empat tahun lalu sudah berubah menjadi ruko.



Sedikit kembali ke kawasan Kramat, tak jauh dari sana ada kawasan Cikini. Hingga akhir tahun 1960, di kawasan itu ada kompleks bernama Taman Raden Saleh. Isinya selain kebun binatang juga bioskop Garden Hall dan Podium. Dalam tulisannya Cikini Atawa Cekini, Alwi Shahab menjelaskan, Garden Hall adalah bioskop kelas satu, sedangkan Podium yang berada di sebelahnya adalah bioskop yang lebih kecil.



Majalah Star News terbitan 15 Desember 1955 menyebutkan, bioskop-bioskop yang memakai wide screen adalah Cathay, Metropole, Garden Hall, dan Menteng. Sementara itu, Podium digambarkan sebagai bioskop yang penontonnya adalah mereka yang menganggap nonton bioskop itu setidak-tidaknya bukan hiburan dan punya pandangan bahwa film itu suatu hasil seni. Kini kompleks tersebut menjadi Taman Ismail Marzuki.

Kota atas-bawah

Dari Cikini, tengoklah Pasar Baru. Di sana ada bioskop Globe yang nyaris setahun ini memutuskan untuk tutup. Dalam 50 Tahun Pertama Bioskop di Indonesia disebutkan, bioskop dengan proyektor bersuara di Batavia hanya ada di empat tempat, Kramat/Grand (Senen), Decca Park (Gambir/Monas), Capitol (Pintu Air, dekat Masjid Istiqlal), dan Globe (Pasar Baru). Bioskop Globe yang bertarif Rp 8.000 itu masih beroperasi hingga sekitar Juli tahun lalu.

Madjalah Djaja edisi 21 Djuni 1969 sedikit mengulas tentang bioskop di Djakarta yang dibagi atas "kota atas" dan "kota bawah" yang miskin bioskop. Kota bawah menurut majalah ini adalah dari seputaran Sawah Besar hingga Pasar Ikan. Di kawasan ini, selain ada Orion, Gloria di Glodok dan Pancoran, kemudian lahir Queen di dekat jembatan Kali Besar.

Dalam majalah itu tertulis pula, pada waktu itu (tidak dijelaskan tahunnya) di bilangan kota sudah memiliki bangunan khas untuk pertunjukan opera, yaitu gedung Thalia yang letaknya di sudut Jalan Mangga Besar Raya dan Jalan Hayam Wuruk. Belakangan gedung Thalia dijadikan juga tempat pemutaran film. Menurut Andri, warga asli Glodok yang lahir sekitar tahun 1950-an, belakangan Thalia menjadi sekolah Sari Putra. Princen Park atau Lokasari di kemudian hari juga memunculkan bioskop yang lebih modern di zaman seputar 1950-1960-an, sebut saja Rukiah.

Bioskop-bioskop yang kini sudah terkubur punya alasan sendiri mengapa mereka kalah 'berperang' melawan zaman. Yang pasti, di sekitar akhir tahun 1980-an ketika ada jaringan yang merajai peredaran film, beberapa bioskop kuno kewalahan dan memilih kalah atau mengalah. Di kemudian hari serbuan VCD dan DVD bajakan makin merunyamkan bisnis perbioskopan.

Sungguh tak mudah mencari data tentang keberadaan bioskop lama yang kini sudah berubah wujud. Menelusuri kembali jejak-jejak bioskop jadi salah satu upaya pengumpulan data demi masa yang akan datang. Di antara itu semua masih tersisa bioskop yang masih berdenyut, meski denyutannya melemah, sebut saja "Metropole" alias Megaria, Djakarta, Rex alias Grand alias Kramat, dan Benhill yang akan menjadi cerita di edisi berikutnya. *

0 komentar: