Friday the 13th dan Mitos Seputar Angka 13

Jumat, 20 Februari 2009

Mitos tentang "Friday the 13th" langsung terbayang hari ini karena tepat jatuh di hari Jumat tanggal 13. Di Indonesia, mitos tersebut mungkin tak terlalu dipedulikan namun di negara-negara barat sampai dianggap sebagai tanda kesialan.


Bahkan sampai-sampai ada gangguan psikologis yang menyebabkan seseorang takut setiap kali menghadapi Jumat bertanggal 13. Fobia seperti ini dikenal dengan sebutan paraskavedekatriaphobia atau friggatriskaidekaphobia. Fobia pada angka 13 disebut Triskaidekaphobia.

Tahun ini mendapat perhatian khusus karena dalam setahun bakal ada Jumat bertanggal 13. Jumat "sial" kedua akan datang sebulan ke depan, Jumat, 13 Maret 2009 dan disusul Jumat, 13 November 2009.

"Kejadian sampai tiga kali seperti itu hanya terjadi setiap 11 tahun sekali," ujar Thomas Fernsler, ahli matematika dari Universitas Delaware, AS. Rupanya rahasia angka 13 menjadi topik penelitian Fernsler selama lebih dari 20 tahun.

Sejak kapan mitos Friday the 13th mulai dipercayai masyarakat tak ada yang tahu pasti. Namun, mungkin hal tersebut ada kaitannya dengan sejarah masa lalu yang menyebutkan bahwa tamu ke-13 dalam Jamuan Makan Malam Terakhir akhirnya berkhianat kepada Jesus. Pada abad pertengahan, Jumat bertanggal 13 dianggap tanda kesialan.

Numerologi

Kepercayaan semacam ini yang menghubungkan pengaruh angka-angka terhadap kehidupan dan lingkungan sering disebut numerologi. Di zaman modern saat ini numerologi bagian dari parasains, seperti halnya astrologi yang dihitung berdasarkan posisi bintang. Para pakar matematika umumnay mengabaikan numerologi karena tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.

"Saya tidak sepenuhnya menolak," kata Mario Livio, ahli astrofisika yang menulis buku "The Equation That Cpuldn't Be Solved" terbitan Simon &Schuster tahun 2005. Dengan mempelajari angka, Phytagoras berhasil mengungkap rahasia segitiga.

Kadang-kadang, hubungan angka-angka dengan peristiwa muncul jika diperhatikan dengan seksama. Bahkan pengikut Phytagoras berupaya semaksimal mungkin mengombinasikan hubungan angka-angka tersebut untuk mengungkap rahasia kehidupan.

Napak Tilas Perbioskopan Jakarta

Jumat, 13 Februari 2009

Malem minggu aye pergi ke bioskop, bergandengan ame pacar nonton koboi, beli karcis tau-tau keabisan, jage gengsi ke pakse beli catutan. Aduh emak enaknye nonton dua-duaan, kaye nyonye dan tuan di gedongan, mau beli minuman kantong kosong glondangan, malu ame tunangan kebingungan.

Itulah sepenggal lagu ciptaan almarhum Benyamin Suaeb, Nonton Bioskop, yang dipopulerkan oleh almarhum Bing Slamet. Lagu kocak itu bercerita tentang pengalaman nonton di bioskop. Tentu gambaran bioskop dalam lirik tadi bukanlah bioskop seperti yang ada sekarang. Bioskop dalam gambaran Benyamin dan Bing itu kini hampir semua sudah almarhum. Beberapa memang masih bertahan, dengan napas yang sudah sangat berat.

Jika dilakukan napak tilas perbioskopan Jakarta, maka sepanjang Jakarta Timur, Pusat, Barat, hingga ke Utara, belakangan juga di Selatan, yang tersisa hanyalah nama, kenangan tentang sebuah bioskop. Bioskop-bioskop yang lahir sejak awal abad ke-20 hingga tahun 1960-an. Sebentar lagi, hampir semua jejak bioskop di Jakarta tak berbekas. Di Jatinegara, bioskop Djaja kini sudah berubah menjadi Pusat Grosir Jatinegara, dari sana melaju hingga ke Kramat ada Rivoli yang pada zamannya menjadi pusat pemutaran film-fim India.

Dari catatan Warta Kota, bioskop yang dibangun awal tahun 1950-an itu akhirnya mengalah pada zaman, sekitar tahun 2002. Enam tahun setelah tutup, kondisi bangunan itu makin rapuh, bluwek, kumuh. Biaya perawatan gedung yang terbilang tinggi, belum lagi pajak, menyisakan satu harapan, yakni menjual lahan beserta gedung tersebut.


Sarkan, pedagang gorengan, cukup bersemangat menggali kembali nostalgia sejak tahun 1976, ketika dia mulai berjualan di lingkungan bioskop Rivoli. "Ini bioskop top. Kalau mau nonton film India, ya di sini. Paling ramai malem Minggu. Saya jualan bisa sampai jam 01.00 (dini hari). Apalagi dulu sebelahnya kan Miss Tjitjih, tambah ramai," tutur Sarkan sambil menunjuk gedung di sebelah lahan Rivoli yang kini bertuliskan Astragraphia sebagai gedung di mana perkumpulan sandiwara Miss Tjitjih biasa melakukan pertunjukan pada masanya.



Rivoli, bersama Orion (di Glodok) dan Roxy (Roxy, Jakarta Pusat), termasuk dalam bioskop rakyat yang memutar film-film Indonesia, Melayu, dan India. Sebut saja film Indonesia produksi tahun 1948, Air Mata Mengalir di Tjitarum yang dibintangi Sofia WD.



Semuanya kini tinggal kenangan yang hanya bisa didengar dari pelaku sejarah atau dilihat dan dibaca dalam bentuk dokumentasi, baik tulisan maupun foto. Orion kini menjadi pertokoan elektronik di Glodok. Sebelumnya, bioskop ini pernah berganti nama menjadi Pelangi. Sedangkan di tanah di mana dulu berdiri bioskop Roxy, di pertigaan Jalan Biak dan Jalan Hasyim Ashari, sejak sekitar empat tahun lalu sudah berubah menjadi ruko.



Sedikit kembali ke kawasan Kramat, tak jauh dari sana ada kawasan Cikini. Hingga akhir tahun 1960, di kawasan itu ada kompleks bernama Taman Raden Saleh. Isinya selain kebun binatang juga bioskop Garden Hall dan Podium. Dalam tulisannya Cikini Atawa Cekini, Alwi Shahab menjelaskan, Garden Hall adalah bioskop kelas satu, sedangkan Podium yang berada di sebelahnya adalah bioskop yang lebih kecil.



Majalah Star News terbitan 15 Desember 1955 menyebutkan, bioskop-bioskop yang memakai wide screen adalah Cathay, Metropole, Garden Hall, dan Menteng. Sementara itu, Podium digambarkan sebagai bioskop yang penontonnya adalah mereka yang menganggap nonton bioskop itu setidak-tidaknya bukan hiburan dan punya pandangan bahwa film itu suatu hasil seni. Kini kompleks tersebut menjadi Taman Ismail Marzuki.

Kota atas-bawah

Dari Cikini, tengoklah Pasar Baru. Di sana ada bioskop Globe yang nyaris setahun ini memutuskan untuk tutup. Dalam 50 Tahun Pertama Bioskop di Indonesia disebutkan, bioskop dengan proyektor bersuara di Batavia hanya ada di empat tempat, Kramat/Grand (Senen), Decca Park (Gambir/Monas), Capitol (Pintu Air, dekat Masjid Istiqlal), dan Globe (Pasar Baru). Bioskop Globe yang bertarif Rp 8.000 itu masih beroperasi hingga sekitar Juli tahun lalu.

Madjalah Djaja edisi 21 Djuni 1969 sedikit mengulas tentang bioskop di Djakarta yang dibagi atas "kota atas" dan "kota bawah" yang miskin bioskop. Kota bawah menurut majalah ini adalah dari seputaran Sawah Besar hingga Pasar Ikan. Di kawasan ini, selain ada Orion, Gloria di Glodok dan Pancoran, kemudian lahir Queen di dekat jembatan Kali Besar.

Dalam majalah itu tertulis pula, pada waktu itu (tidak dijelaskan tahunnya) di bilangan kota sudah memiliki bangunan khas untuk pertunjukan opera, yaitu gedung Thalia yang letaknya di sudut Jalan Mangga Besar Raya dan Jalan Hayam Wuruk. Belakangan gedung Thalia dijadikan juga tempat pemutaran film. Menurut Andri, warga asli Glodok yang lahir sekitar tahun 1950-an, belakangan Thalia menjadi sekolah Sari Putra. Princen Park atau Lokasari di kemudian hari juga memunculkan bioskop yang lebih modern di zaman seputar 1950-1960-an, sebut saja Rukiah.

Bioskop-bioskop yang kini sudah terkubur punya alasan sendiri mengapa mereka kalah 'berperang' melawan zaman. Yang pasti, di sekitar akhir tahun 1980-an ketika ada jaringan yang merajai peredaran film, beberapa bioskop kuno kewalahan dan memilih kalah atau mengalah. Di kemudian hari serbuan VCD dan DVD bajakan makin merunyamkan bisnis perbioskopan.

Sungguh tak mudah mencari data tentang keberadaan bioskop lama yang kini sudah berubah wujud. Menelusuri kembali jejak-jejak bioskop jadi salah satu upaya pengumpulan data demi masa yang akan datang. Di antara itu semua masih tersisa bioskop yang masih berdenyut, meski denyutannya melemah, sebut saja "Metropole" alias Megaria, Djakarta, Rex alias Grand alias Kramat, dan Benhill yang akan menjadi cerita di edisi berikutnya. *

Gang Torong dan Observatorium Pertama

Senin, 09 Februari 2009


Tigapuluh lima tahun lalu, Presiden Asosiasi Astronomi California Utara (Astronomical Association of Northern California), Doug Berger, memelopori sebuah kegiatan memasyarakatkan astronomi. Dia sengaja memasang beragam teleskop di kawasan publik. Intinya, berbagi pemandangan indah tentang alam semesta. Dari sana, keingintahuan warga tentang astronomi pun berkembang.

Hingga kini upaya Berger terus berkembang dan selalu diperingati tiap tahun sebagai Hari Astronomi, hari di mana publik, penggemar astronomi, dan para profesional, bisa bertemu melalui berbagai kegiatan. Penentuan Hari Astronomi agak unik karena tiap tahun selalu diperingati setiap Sabtu antara pertengahan April dan pertengahan Mei, saat fase bulan sebelum atau pada saat seperempat awal. Tahun 2008 ini, fase bulan itu jatuh pada pekan lalu, 10 Mei.


Untuk memperingati Hari Astronomi itu, tak ada salahnya kita menengok kembali ke belakang, ke sejarah observatorium pertama di Batavia. Sekadar mengingatkan, astronomi atau ilmu bintang disebut sebagai cabang ilmu pengetahuan tertua. Ilmu ini mencoba menyingkap rahasia dan sejarah alam semesta melalui pengamatan dan penjelasan kejadian di luar bumi dan astmosfernya. Ilmu ini mempelajari asal usul, evolusi, sifat fisik, dan kimiawi benda-benda yang bisa dilihat di langit dan di luar bumi.

Semula, astronomi hanya memerlukan pengamatan dan ramalan gerakan benda di langit yang bisa dilihat dengan mata telanjang seperti yang selalu dilakukan manusia berabad lampau. Di Indonesia, astronomi modern dibawa oleh pelaut-pelaut Belanda di Abad ke-17, Pieter Dirkszoon Keyser dan Frederick de Houtman.

Lebih 150 tahun kemudian, pendeta Belanda kelahiran Jerman yang menaruh perhatian pada bidang astronomi, Johan Maurits Mohr, mendirikan observatorium pertamanya di Batavia pada 1765. Ya, observatorium pertama sudah ada di Batavia di Abad ke-18. Observatorium Bosscha yang begitu kita kenal saat ini, baru mulai dibangun pada 1922.

Adalah peristiwa transit Venus, yaitu peristiwa ketika Venus melintas di antara Bumi dan Matahari, di tahun 1761, yang memicu Mohr membangun observatorium pertama di Batavia tersebut. Robert H van Gent, dalam makalah berjudul Observations of the 1761 and 1769 Transits of Venus from Batavia (Dutch East Indies) menyebutkan, Mohr membantu Gerrit de Haan, kepala departemen pemetaan di Batavia dan Pieter Jan Soele, kapten kapal VOC, mengobservasi transit Venus pada 6 Juni 176. Mereka menggunakan dua reflektor Gregorian dengan focal length 45,72 cm dan 68,58 cm. Gent menulis, pengamatan tersebut dilakukan dari sebuah lahan super luas di dekat pantai di luar Batavia.

Lenyap Ketika mengetahui pada 1769 Venus kembali akan transit, Mohr segera merancang pembangunan observatorium yang representatif pada masanya. Maka dibangunlah gedung setinggi lebih dari 24 meter di lahan luas di pinggir Molenvlie. Tahun 1765 pembangunan dimulai dan selesai pada 1768. Observatorium itu menjulang, menjadi gedung paling tinggi pada masanya. Bicara ihwal keberadaan observatorium Mohr di masa kini, ada baiknya menilik lokasi aslinya yang kini ada di Jalan Kemenangan Raya (Petak Sembilan), Jakarta Barat. Nama Gang Torong pun hingga kini masih digunakan untuk nama gang yang dipercaya sebagai lokasi peneropongan bintang milik Mohr itu. Selain nama gang tadi, tentu saja, bekas-bekas observatorium itu sudah ratusan tahun lalu lenyap.

Pada masa ketika rumah sekaligus observatorium Mohr masih berdiri bagaikan menara (toren), kawasan ini bernama Torenlaan. Toren dilafalkan warga lokal sebagai torong jadilah Gang Torong. Gang Torong cukup tenar setidaknya sering disebut dalam koran lokal di masa tersebut.
Dalam lukisannya, Johannes Rach merekam situasi kawasan di sekitar observatorium Mohr. Yaitu bahwa letaknya tak jauh, persisnya di sebelah kanan belakang, dari vihara Kim Tek I atau Jin de Yuan atau orang Indonesia melafalkan sebagai Cin Te Yen. Dalam bahasa Indonesia, Vihara Dharma Bhakti. Lokasi bangunan Mohr itu kini berubah menjadi perkampungan padat di dalam gang. Sementara itu sejarah observatorium itu hanya tersisa dalam bukti lisan yang kebanyakan masih tertulis dalam bahasa Belanda. Dalam bukunya, Gent menceritakan, Mohr meninggal dunia pada Oktober 1775. Lima tahun kemudian, gempa bumi mengguncang Batavia dan memporakporandakan observatorium Mohr. Untungnya, jauh sebelum gempa terjadi, janda Mohr, Anna Elisabeth van't Hoff sudah menjual peralatan astronomi yang dimiliki mendiang suaminya ke Johannes Hooijman, penggagas Bataviaasch Genootschap.

Setelah tergoyang gempa dan kemudian ditinggalkan selamanya oleh Anna van't Hoff pada 1782, bangunan observatorium itu terlunta-lunta begitu saja. Hingga 1809 tercatat masih digunakan sebagai kantor, kemudian barak tentara, sebelum akhirnya dirobohkan. Catatan terakhir pada 1844, gedung itu hanya bersisa pondasi saja. Sedangkan peralatan astronomi yang pernah digunakan Mohr, masih tersimpan di beberapa museum di Belanda.

Awesome Adventure

Senin, 02 Februari 2009

Waktu kemaren gw pergi liburan, memang perjalanannya kaya backpacker gitu....uhheuhhue, tapi asik banget koq, di perjalanan pertama gw pergi ke anyer lewat kota pandeglang gitu, dalam perjalanan kita memang selalu istirahat yang cukup lama di pandeglang tapi itu merupakan bagian dari perjalanan kita. sekitar jam 14.00 kita sampai di anyer di situ kita langsung masuk ke dalam villa dan langsung mencari tempat bersandar.....uhheuhhue..maklum terasa capek banget sih, disitu saya mendapat rekomedasi untuk datang ke tanjung lesung katannya tempatnya asik banget, jadi penasaran pingin nyoba.

di anyer kita langsung cari makanan untuk persiapan makan malam dan setelah makan kita semua gk bisa tidur karena ingin menikmati suasana di daerah tsb..uhheuhhue, lalu diputusin untuk bermain kartu, kayanya gk seru banget klo yang kalah gk di kasih hukuman, mulai dari disuruh bikin coffee, jepit botol pakai dagu, meminum ampas coffe, pakai saru dan helm, sampai mengoleskan pasta gigi di muka ke yang kalah, wah kita main seru banget sampai sampai tak terasa hari menjelang pagi permainan itu berlanjut....uhheuhhue.....

Kita semua istirahat sampai jam 08.00 pagi untuk memulihkan stamina kembali, sekitar jam 10.00 kita semua jalan ke Tanjung Lesung, kita kesana semangat banget sampe2 hujan, jalanan rusak dan bergenang air pun gk jadi halangan ngebatalin niat kita kesana....uhheuhue....kita disana masuk ke Beach Club, gila bagus banget tuh pasir, ombak, pantai, lautnya....


keesokan kayanya hari cerah banget, so gw tanpa fikir panjang lagi langsung ke pantai carita, di situ kita sewa semacam busa buat selancar, memang sih buka selancar beneran tapi seu abis dah, kita sewa sama langganan kita yang orang nya juga baik banget, dia bisa main selancar yang asli, parah keren banget di maennya gw sih cuma berjemur di tengah laut menikmati ombak...uhheuhue...aduh kulit jadi item banget nh gara2 kelamaan kena matahi n gk pake sunblock..tapi gw menikmati semuanya koq...uhhue..tepat jam 10.00 kita semua balik lagi ke villa dan melanjutkan kembali perjalan ke puncak...

ditengah perjalanan kita semua berdebat apakah akan melanjutkan kembali perjalanan atau pulang saja, gw berfikir gak enak banget kalo pulabng gitu aja tanpa bawa oleh2, gw ngertiin koq kita capek banget karena jalan terus dan kurang istirahat makanya diantara kita ada yang emosi, tapi itu semua hanya sebentar saja karena kita semua laskar Brotherhood....uhheuhhue... akhirnya jadi juga kita melanjutkan perjalanan, memanga kita semua banyak istirahat, karena wajar juga kia semua kurang banget istirahat, di puncak kita sampai jam 23.30 an, kita disana kehujanan, baju basah semua, dan air di masjid dingin banget, eh lagi enak2 tidur di suruh keluar...dengan santainya penjaga masjid mengtakan "maaf mas di dalam masjid gak boleh buat tidur", waduh gmana nh ntar tidurnya.......(ah gw gk mw bahas masalah itu, gk enak banget klo gw ceritain)




berlanjut ke keesokan harinya, selesai shalat shubuh kita melanjutk perjalanan kembali tadinya semua sepakat mw ke sukabumi, tetapi karena jalan kesana yang selalu menanjak jadi diputuskan kembali kita semua jalan ke bandung aja. disana ita langsung menuju ke gazibu, kebetulan disana lagi ada acara, parah rame banget di gazibu. kita semua istirahat di suatu monumen yang atasnya ada gambar burung garuda, gak tw juga sih persis namanya...uhhhuue
dibandung memang kita semua cuma buat beli oleh2, tapi rasanya asik banget,semuanya istirahat di masjig agung bandung, gila enak banget di masjid itu bisa tidur2an, cuci muka, mandi tanpa ada yang mengganggu seperti masjid di puncak....hhuuuu. setelah semua agak segar kembali sekitar jam 14.00 kita berangkat lagi untuk pulng karena dirasa sudah beli oleh2 sebagai tujuan utam dan sudah keliling bandung,,,,puaass banget..uhhuehheu..

dalam perjalanan pulang kita seperti mengalami petualangan baru lagi di tengah jalan huja deras dan berhenti beberapa jam kemudian. kita semua erhenti di cianjur dan meneduh di masjid Darussallam...memang disana tempatnya agak kecil dari biasanya tapi di sana kita semua lebih merasa nyaman banget dan setelah Shalat maghrib kita di jamu dengan segelas bandrek yang bisa bikin hangat..uueeenak tenan...uhheeuhue...



jadi jika kita semua membuat rutenya
dari jakarta keita lewat pandeglang langsung pergi ke anyer dan keesokannya ke tanjugn lesung dan kembali lagi ke anyer....
dari anyer lewar pandeglang lagi ke BSD, bogor, ciawi, puncak, cipanas, cianjur trus ke bandu dan final desination kembali lagi ke jakarta atau pulang ke rumah......ffuuuiiii jauh banget th perjalanan..uhhuueehhuuue....