Misteri Kuburan Cleopatra dan Mark Anthony

Kamis, 16 April 2009


Meski cerita cintanya sangat kondang, kuburan Cleopatra dan Mark Anthony sampai kini belum diketahui. Masih misterius di mana kedua insan dimakamkan. Para arkeolog di Mesir akan memulai penggalian untuk mencari makam pasangan kekasih yang sama-sama mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.


Dewan Purbakala Mesir menyatakan, pencarian akan dipusatkan di tiga lokasi yang diduga paling kuat. Ketiga lokasi berada di satu kawasan Kuil Taposiris Magna, yang berada dekat dengan Kota Alexandria di bibir pantai Laut Mediterania.


Tahun lalu, di kuil yang dibangun pada masa kekuasaan Raja Ptolemy II (282-246 SM) itu ditemukan kepala patung Cleopatra, 22 koin bergambar Cleopatra, dan sebuah topeng yang diduga milik Anthony. Di dalam kuil tersebut terdapat sejumlah ruangan. Tiga di antaranya yang berada di bawah tanah diperkirakan sebagai makam Cleopatra dan Anthony.


"Pasangan kekasih itu mungkin disemayamkan di ruangan yang sama," demikian pernyataan yang dilansir Dewan Purbakala. Penggalian akan dilakukan tim arkeolog dari Mesir dan Republik Dominika yang telah melakukan penelitian di kawasan tersebut dalam tiga tahun terakhir.


Cleopatra dan Mark Anthony dikenal dengan kisah asmaranya yang tragis. Keduanya sama-sama memutuskan bunuh diri pada 30 SM setelah kalah perang. Mark Anthony diceritakan tewas dengan pedangnya sendiri, sedangkan Cleopatra mati karena gigitan ular berbisa yang diambilnya sendiri.

Schutsel VOC Milik MSJ "Mejeng" di London

Minggu, 12 April 2009

Sejarah koleksi Museum Sejarah Jakarta dimulai ketika pada tahun 1788, Konselor Hindia Belanda JCM Radermacher, bersama para ilmuwan, mendirikan Perkumpulan Seni dan Ilmiah Batavia (Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen). Tujuannya untuk melakukan penelitian di bidang seni dan ilmu pengetahuan yang di dalamnya ada sejarah ilmu alam, arkeologi, dan etnografi dari seluruh nusantara.

Sejak abad ke-19, perkumpulan ini sudah memperoleh koleksi peninggalan arkeologi khususnya dari periode pra-Islam, seperti potongan uang dan naskah. Hasil temuan itu bahkan sudah dipamerkan di Museum of Bataviaasch Genootschap van Kusnten en Wetenschappen (Museum Nasional) tahun 1868. Di abad ke-20, museum ini sudah mengumpulkan berbagai ukiran kayu dan obyek seni lainnya berhubungan dengan sejarah Batavia.

Dalam buku Dari Stadhuis Sampai Museum yang ditulis Hans Bonke dan Anne Handojo, di tahun 1937, perkumpulan lain pun terbentuk, yaitu Yayasan Batavia Lama (Stichting Oud Batavia). Yayasan ini berencana membangun museum khusus sejarah Batavia, Museum Sejarah Batavia. Maka, koleksi berbau Batavia dari Museum of Bataviaasch Genootschap pun diboyong ke museum baru ini.

Pada dua tahun berikutnya, publik sudah bisa menikmati koleksi yang terdiri dari berbagai peralatan perak, lukisan, furnitur masa kolonial, buku, dan lainnya sebagai adopsi dari ruang pamer bertema "Compagniekamers (Kamar-kamar Company)". Masa jaya museum ini terganggu pada periode 1942-1945 saat Jepang masuk. Pada periode ini, banyak hal terjadi pada koleksi.


Yayasan Batavia Lama mengubah nama menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia pada 1950. Lembaga ini menjadi semacam pengatur dua museum, Museum Pusat yang semula bernama Museum of Bataviaasch Genootschap dan Museum Jakarta Lama yang semula bernama Museum Sejarah Batavia. Koleksi dari dua museum tadi kemudian diserahkan kepada Pemerintah Indonesia pada 1958. Pada sepuluh tahun kemudian, pemerintah memindahkan kembali sebagian koleksi ke Museum Jakarta Lama (kini Museum Sejarah Jakarta).

Salah satu koleksi museum ini adalah schutsel atau pemisah ruang dari abad 18. Koleksi ini berasal dari ruang sidang Dewan Hindia Belanda di Kastil Batavia. Adolf Heuken menyebutkan, dewi kebijaksanaan—Dewi Pallas Athena—menjadi bagian sentral pemisah ruang itu. Di bawah mahkota terdapat lambang enam kota yang membentuk VOC, sedangkan di tengahnya ada lambang kota Batavia.

Pemisah ruang ini kini sedang berada di London, tepatnya di Victoria and Albert Museum dalam sebuah pameran bertema Baroque: Stye in The Age of Magnificence (1620-1800). Pameran ini dibuka pada 4 April-19 Juli 2009.

Daendels, Sultan Agung dan Jalan Pos

Herman Willem Daendels yang berkuasa di abad 19 dan Sultan Agung pendiri wangsa Mataram yang berkuasa di abad 17 ternyata memiliki kaitan erat lewat keberadaan Jalan Raya Pos. Sebagian jalur Jalan Raya Pos (Gr ote Post Weg-Red) yang dibangun oleh Daendels merupakan bagian dari jalan desa yang dirintis dan ditempuh pasukan Sultan Agung saat menyerang Batavia tahun 1628 dan 1630.

Sejarawan menjelaskan, beberapa ruas Jalan Raya Pos merupakan perluasan dari jalan yang pernah dirintis atau digunakan pasukan Sultan Agung dari Mataram. "Sultan Agung bermaksud mengukuhkan kekuasaan di tanah Jawa dengan menyerang Batavia lalu menguasai Banten. Itu sebabnya Kesultanan Banten tidak membantu pengepungan yang dilakukan Sultan Agung terhadap Batavia," ujar Mona yang menerjemahkan arsip VOC sejak tahun 1600-an hingga era Hindia Belanda tahun 1942.

Penulis Belanda Pierre Heiboer dalam Klamboes, Klewang, Klapperbomen Indie Gewonnen en Verloren menulis, semula Sultan Agung tidak memandang Belanda di Batavia sebagai musuh. Namun, sikap Sultan Agung berubah saat dia berusaha mengalahkan Banten.

Heijboer menulis ...Vijanden van Mataram werden ze pas toen ze weigerden de sultan sch epen te lenen voor de verovering van Bantam. Het brach Agoeng tot het besluit ... eerst Batavia veroveren en daarna Bantam yang kurang lebih berarti permusuhan berawal ketika Belanda menolak meminjamkan kapal kepada Sultan Agung untuk menyerang Banten, Sultan Agung pun memutuskan untuk mengalahkan Batavia terlebih dahulu, selanjutnya Banten ditaklukkan.

Sebelumnya, seperti dalam tulisan Pramoedya Ananta Toer, Jalan Pos Jalan Daendels, disebutkan Sultan Agung telah melebarkan kekuasaan dengan menguasai dataran tinggi Priangan. Setiap tahun, para bangsawan Pasundan pun diwajibkan datang ke Mataram sebagai wujud kesetiaan pada Sultan Agung.

Semasa menyerang Batavia, Sultan Agung memiliki dua panglima yakni Bahureksa yang berasal dari suku Jawa dan Dipati Ukur yang merupakan bangsawan Sunda. Pasukan bergerak dari wilayah Jawa Tengah dan dataran tinggi Priangan di Jawa Barat. Salah satu gudang beras pasukan Sultan Agung terdapat di sekitar Cirebon, Jawa Barat dan Tegal, Jawa Tengah. Ribuan rakyat desa dikerahkan menjadi tenaga bantuan untuk mendukung pasukan Sultan Agung.